Hidup adalah sesuatu yang dinamis. Selalu berubah.
Mulai dari bayi berubah jadi anak-anak, lalu menadi remaja terus remaja dewasa
menjadi pemuda dan sertusnya sampaiakhirnya yang hidup pun menjadi mati.
Itulah kehidupan. Selalu berubah setiap saat tanpa
pemberitahuan.
Satu pepatah yang mengatakan “Hidup bagaikan roda
yang berputar. Kadang kita berada di atas, kadang kita berada di bawah”. Yang
akan saya bahas disini bukan posisi kita sedang di atas atau di bawah
sebagaimana pepatah tersebut, tapi perubahan itu sendiri.
Ada juga ungkapan “Tidak ada yang abadi di dunia ini
selain perubahan itu sendiri” Kalimat ini memang mudah diucapkan tetapi tidak
udah untuk dipahami (baca:dilaksanakan). Ungkapan yang lain tentang perubahan: Yang terberat
adalah langkah memulai perubahan
Dan merubah sesuatu yang sudah seatle, nyaman adalah
pekerjaan yang sangat berat. Apalagi jika yang dihadapi adalah orang-orang
sepuh yang masih sangat memegang teguh tradisi atau kebiasaan yang sudah
berlaku lama di masyarakat yang entah itu benar atau salah.
Kejadian yang saya alami yang akan saya ceritakan
berikut ini semoga bias menjadi semakin memudahkan kita memahami perubahan dan
bagimana memulai suatu perubahan.
Pasnya ketika Ramadhan yang lalu. Biasa di masjid
kampung saya Ramadhan dibuat jadwal kultum ba’da sholat tarawih dan jadwal imam
tarawih. Kebetulan saya mendapat jadwal kultum tarawih dan secara dadakan sring
juga menjadi imam sholat tarawih menggantikan imam tarawih yang sudah ada namun
berhalangan. Kebiasaan di masjid kami sholat tarawih dipimpin oleh Bapak Imam
Yang Sepuh. Saya menyebut demikian karena saya enggan menyebut nama beliau
untuk alsan privasi.
Sehari dua hari, Bapak Imam Yang Sepuh itu tidak
dating ke masjid untuk sholat tarawih. Keluhannya macam-macam. Kadang sakit
perut, kadang pusing, di hari lain katanya berbuka makan telalu pedas akhirnya
harus sering ke kamar mandi alias BAB terlalu lancar alias m***ret.
Bagitulah, jika Beliau tidak datang maka kami yang
muda-muda biasanya yang menggantikan. Ada sih imam pengganti yang lain. Tapi
malam itu saya yang disuruh maju menjadi imam.
Perlu saya jelaskan dulu kebiasaan sholat tarawih di
masjid kami. Sholat tarawih d masjid kami dilaksanakan setelah sholat isya’ 11
raka’at. Empat raka’at salam empat raka’at salam ditambah witir tiga raka’at.
4-4-3.
Dan di antara sholat satu dengan yang lain diselingi dengan berdo’a yang
dipimpin oleh imam.
Nah, pas saya yang maju menjadi imam malam itu, saya
melakukannya dengan sedikit berbeda dengan kebiasaan yang sudah berlaku selama
ini. Yang saya lakukan sebagian besar sama. Saya sholat tarawih juga 11
raka’at. Empat raka’at salam empat raka’at salam ditambah witir tiga raka’at.
4-4-3. Yang berbeda adalah saya tidak
memimpin doa diantara sholat satu dengan sholat berikutnya.
Sebenarnya bukan saya saja yang melakukan hal
seperti itu, tidak memimpin doa diantara
sholat satu dengan sholat berikutnya. Ada lagi teman yang lain melakukan
hal yang sama.
Kabar saya dan teman yang memimpin sholat berbeda
dengan Bapak Imam Yang Sepuh ini rupanya terdengar sampai ke beliau, Bapak Imam
Yang Sepuh.
Perbedaan cara sholat inilah yang kemudian
menimbulkan “sedikit masalah”. Kami dianggap membawa ajaran baru. Membawa
pengaruh jama’ah lain. Hal ini sampai disampaikan di forum kultum dimana seharusnya
hal itu tidak terjadi.
Saya melihat gelagat yang kurang baik dari Bapak
Imam Yang Sepuh yang naik mimbar kultum malam itu. Kebetulan malam itu saya
membawa handphone yang bisa untuk merekam. Saya langsung merekam kultum dan
sampai sekarang, rekaman itu masih tersimpan di handphone.
Malam itu, saya juga mengirim sms ke seorang teman “Mengawali perubahan itu memang berat,
tetapi tetap harus ada yang memulai”. Dia balas sms itu dengan empat buah tanda
tanya, “????”
Pada hari lain saya juga menulis di twitter dengan
hastag #tradisi
“Mengawali perubahan itu berat tapi harus tetap dilakukan... #tradisi
“Jadi
teringat ttg kisah para Nabi yg selalu mndpt jawaban dr kamunya: “Kami hanya
mengikuti para leluhur kami” #tradisi
“Ketika
yg melakukan perubahan adl org terpandang maka itu dianggap biasa, “ah gak pa
pa” tp kalo org kecil, muda “rasah aneh-aneh” #tradisi
Begitulah, kami yang muda ingin melakukan perubahan
tetapi harus berhadapan dengan para orang tua kami yang seperti saya sebut di
atas, sangat memegang teguh tradisi atau kebiasaan yang sudah belaku lama di
masyarakat. Kami dianggap mbalelo, nganeh-anehi, nggawe bab anyar, ngowah-owahi
adat dan sebagainya.
Saya dan teman-teman yang sudah sama-sama memahami
tantangan dakwah menganggap hal itu sebagai tantangan yang harus kami hadapi
ketika akan mencoba memabawa perubahan.
0 Response to "(GoVlog-Umum) Mengapa Takut Menghadapi Perubahan?"
Terima kasih sudah berkunjung. Silakan berkomentar dengan bijak. Komentar tanpa nama dan tidak bisa dilacak balik atau ada link aktif saya anggap spam